Akibat ulah elitis, elitis di ranah dan di level mana pun, bangsa ini terpaksa harus menyandang penyakit kronis: tak paham lagi berkebudayaan dan berbudaya. Nyaris dari kita semua mempersempit makna kebudayaan dan mendangkalkan eksistensi kebudayaan. Kebudayaan dipersempit artinya sebatas produk-produk lokal yang berhubungan dengan ritual adat dan seni. Lebih parah ketika produk tersebut sebatas diletakkan sebagai komoditas, bukan wahana proses nilai.
Itulah akar mengapa nyaris semua perhelatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan seni-budaya selalu saja terjadi kesalahan-kesalahan hingga pelecehan-pelecehan, perilaku yang justru berkebalikan dengan makna yang hendak diraih dari penyelenggaraan kegiatan tersebut. Betapa kita terlalu sering menyaksikan keberadaan kelompok yang bernama "PANITIA" yang perilakunya cenderung bertolak belakang dengan makna keberadaannya. Filosofi "Panitia" adalah merupakan sebuah "sistem pelayanan integral" terhadap sebuah "subyek" untuk mencapai maksud dan tujuan diselenggarakannya sebuah kegiatan. Sistem pelayanan integral yang menjadi tugas utama keberadaan panitia ini yang justru cenderung dilupakan. Maka yang berkembang kemudian adalah perilaku arogan dan oportunistik. Ketegasan yang dijalani seringkali tidak mengarah kepada kelancaran dan kenyamanan kegiatan, tetapi lebih mencerminkan perilaku "dumeh", "bermain" dan "menjilat".
Perilaku buruk kepanitian seperti itu baru saja terpampang jelas di penyelenggaraan Festival Wayang Indonesia (FWI) 2013 di Museum Fatahilah, Kota Tua, Jakarta Barat, 4 - 7 Juli 2013. Sebuah festival wayang bergensi yang diselenggarkan oleh Yayasan Total Indonesia bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pelaksanaannya dipercayakan kepada Senawangi dan Pepadi. Subyek yang semestinya dilayani secara prima oleh panitia FWI adalah "talent" (subyek pelaku kesenian) dan "publik" (subyek pemilik kebudayaan).
Karena keduanya merupakan target utama dari kegiatan, bukan pejabat yang seharusnya justru menjadi bagian dari kelompok pelayan. Tapi apa yang terjadi? Publik maupun talent sama-sama diatur-atur secara arogan. Maka tak aneh jika terjadi seorang Heru S Sudjarwo -- tokoh penulis buku pewayangan dan sineas wayang -- (representasi publik) harus diusir dari kursi, Wayang Kampung Sebelah (representasi talent) harus diusir dari hotel tempat menginap. Keduanya sama-sama diusir oleh yang namanya PANITIA. Itukah budi luhur yang diagung-agungkan oleh Festival Wayang Indonesia dengan segenap sistem dan perangkatnya?
Tak berlebihan bila Kampret curiga, jangan-jangan FWI sama dengan rezim Indonesia sekarang, sebatas ajang proyek perampokan kanan-kiri oleh sebuah oligarki. Walahualam... #Kampret
Sumber : WKS
Itulah akar mengapa nyaris semua perhelatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan seni-budaya selalu saja terjadi kesalahan-kesalahan hingga pelecehan-pelecehan, perilaku yang justru berkebalikan dengan makna yang hendak diraih dari penyelenggaraan kegiatan tersebut. Betapa kita terlalu sering menyaksikan keberadaan kelompok yang bernama "PANITIA" yang perilakunya cenderung bertolak belakang dengan makna keberadaannya. Filosofi "Panitia" adalah merupakan sebuah "sistem pelayanan integral" terhadap sebuah "subyek" untuk mencapai maksud dan tujuan diselenggarakannya sebuah kegiatan. Sistem pelayanan integral yang menjadi tugas utama keberadaan panitia ini yang justru cenderung dilupakan. Maka yang berkembang kemudian adalah perilaku arogan dan oportunistik. Ketegasan yang dijalani seringkali tidak mengarah kepada kelancaran dan kenyamanan kegiatan, tetapi lebih mencerminkan perilaku "dumeh", "bermain" dan "menjilat".
Perilaku buruk kepanitian seperti itu baru saja terpampang jelas di penyelenggaraan Festival Wayang Indonesia (FWI) 2013 di Museum Fatahilah, Kota Tua, Jakarta Barat, 4 - 7 Juli 2013. Sebuah festival wayang bergensi yang diselenggarkan oleh Yayasan Total Indonesia bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pelaksanaannya dipercayakan kepada Senawangi dan Pepadi. Subyek yang semestinya dilayani secara prima oleh panitia FWI adalah "talent" (subyek pelaku kesenian) dan "publik" (subyek pemilik kebudayaan).
Karena keduanya merupakan target utama dari kegiatan, bukan pejabat yang seharusnya justru menjadi bagian dari kelompok pelayan. Tapi apa yang terjadi? Publik maupun talent sama-sama diatur-atur secara arogan. Maka tak aneh jika terjadi seorang Heru S Sudjarwo -- tokoh penulis buku pewayangan dan sineas wayang -- (representasi publik) harus diusir dari kursi, Wayang Kampung Sebelah (representasi talent) harus diusir dari hotel tempat menginap. Keduanya sama-sama diusir oleh yang namanya PANITIA. Itukah budi luhur yang diagung-agungkan oleh Festival Wayang Indonesia dengan segenap sistem dan perangkatnya?
Tak berlebihan bila Kampret curiga, jangan-jangan FWI sama dengan rezim Indonesia sekarang, sebatas ajang proyek perampokan kanan-kiri oleh sebuah oligarki. Walahualam... #Kampret
Sumber : WKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar